Jogjakarta, penaxpose.com - Di hamparan pematang basah Rawa Bebek, kawanan bebek bergerak silih berganti memimpin barisan: hari ini bebek A berada di depan, esok digantikan bebek B, lusa tampak bebek C mengambil alih. Namun, meski pemimpin berganti, barisan tetap tiba bersama di tujuan.
Dari pemandangan sederhana itu, rakyat yang lama digencet bisa belajar satu hal: hasil yang baik lahir dari formasi yang benar, bukan dari nama yang dielu-elukan. Filsuf Yunani, Aristoteles, pernah menegaskan bahwa lebih pantas hukum yang memerintah ketimbang manusia mana pun. Kalimat itu menjadi penegasan arah: rule of law bukan rule of man. Itulah napas Satrisme-gerak menegakkan sistem yang adil, bukan menyerahkan nasib pada silsilah.
Saya menulis bukan untuk memanjakan telinga elit, melainkan untuk kawan-kawan buruh, nelayan, petani, pedagang kecil, pengemudi ojek, ibu-ibu yang antre di puskesmas, hingga anak muda yang gelisah melihat masa depan tersumbat dinasti.
Penolakan kita bukan pada nama seseorang, melainkan pada penyembahan terhadap nama. Ketika kebijakan ditarik oleh silsilah, negara kehilangan akal sehat. Hukum pun berubah menjadi kostum: dipakai bila menguntungkan, disimpan bila menghalangi. Pola semacam ini harus segera diakhiri.
Kita harus mengganti kiblat. Pertanyaan mendasar bukan siapa yang memimpin, melainkan bagaimana sistem itu bekerja untuk memimpin. Pemimpin sejati adalah mereka yang membangun sistem sehingga dirinya mudah digantikan tanpa mengguncang hasil. Seperti kawanan bebek di pematang: yang di depan hanya memecah angin secukupnya, lalu bergeser. Tidak ada pemujaan individu-yang diagungkan adalah formasi.
Dalam kehidupan bernegara, formasi itu bernama konstitusi, institusi, dan budaya taat hukum. Di dalamnya ada pemisahan serta pengimbangan kekuasaan, ada proses yang bisa dilacak, diprotes, dan diperbaiki. Filsuf John Rawls pernah mengingatkan, keadilan adalah kebajikan pertama institusi. Sebab bila institusinya busuk, kisah tentang pemimpin baik di atasnya akan cepat berubah menjadi dongeng pahit.
Dari Sistem ke Piring Nasi
Ini bukan sekadar diskusi seminar. Yang dibicarakan adalah beras di piring dan tenang di dada.
Pertama, kepastian aturan mampu menurunkan biaya-biaya kecil yang selama ini membuat usaha rakyat megap-megap.
Kedua, impersonalitas kebijakan-ketika data dan norma lebih berkuasa daripada telepon pribadi-mampu menekan korupsi dan mempercepat antrean layanan publik.
Ketiga, mekanisme checks and balances dapat menghentikan pemborosan yang sering berkamuflase sebagai “proyek.”
Keempat, transparansi dan akuntabilitas menyembuhkan rasa curiga, membuat partisipasi warga bukan lagi bahan olok-olok.
Inilah Satrisme: turun dari langit gagasan ke tanah kenyataan. Sistem yang jernih bukan kemewahan, melainkan kebutuhan pokok-setara dengan air bagi kehidupan.
Kita Melawan, dengan Cara yang Bermartabat
Perlawanan ini bukan amuk sesaat yang cepat padam, melainkan disiplin panjang yang terus menyala. Kita melawan dengan formasi-barisan rapi yang membuat oligarki kehilangan ruang gelapnya.
Ada empat paku Satrisme yang dipegang, dan diajak untuk bersama-sama dijaga:
1. Berpihak pada rakyat. Kebijakan diuji oleh mereka yang paling terdampak, bukan yang paling berkuasa.
2. Menjunjung jalur hukum. Prosedur adalah pagar, bukan belenggu; ia melindungi yang lemah dari tangan yang gatal.
3. Keberanian jujur dan bertanggung jawab. Berani menolak konflik kepentingan, berani diaudit, dan berani meralat tanpa gengsi.
4. Anti-kekerasan dan anti-anarki. Jalan yang ditempuh adalah jalan tertib, sebab amuk hanya akan mematahkan barisan yang sedang dijaga.
Filsuf politik Hannah Arendt pernah menegaskan, kekuasaan adalah kemampuan bertindak bersama. Kekerasan hanyalah pengganti murahan ketika kekuatan bersama hilang. Karena itu, yang kita bangun adalah kekuatan kolektif-bukan kultus, bukan bendera keluarga, melainkan formasi.
Satrisme Nyata: Jalan ke Keadilan Sosial, Ekonomi, dan Hukum
Satrisme tidak berhenti pada semboyan. Ia memusatkan pandangan pada keadilan-bukan kehendak siapa pun, melainkan tertib yang memuliakan semua orang. Aristoteles pernah mengingatkan, “lebih pantas hukum yang memerintah daripada manusia mana pun.” Dari kesadaran itu, rakyat marjinal menajamkan tiga tujuan besar: keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan keadilan hukum.
1) Keadilan Sosial: Martabat sebagai Titik Berangkat
Keadilan sosial berarti setiap orang dihitung, bukan sekadar tercatat. Hak dasar seperti identitas, pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial hadir tanpa syarat silsilah. Kesetaraan akses bukan kemurahan hati penguasa, melainkan konsekuensi dari martabat warga.
- Yang diperjuangkan: tidak ada warga yang tertinggal dari layanan dasar karena miskin, berbeda, atau jauh dari pusat.
- Wajahnya dalam keseharian: antrean yang bergerak, informasi yang terbuka, keputusan yang bisa dipertanyakan.
- Nadinya: solidaritas teratur, bukan iba sesaat, agar yang lemah dapat berdiri, bukan sekadar ditolong.
2) Keadilan Ekonomi: Rezeki Tanpa Pagar Tersembunyi
Keadilan ekonomi berarti biaya hidup tidak digembungkan oleh ketidakpastian dan pagar-pagar tersembunyi yang hanya dikenali oleh mereka yang dekat kekuasaan. Pasar harus terbuka bagi usaha kecil, sementara tanah dan laut menjadi sumber nafkah yang tidak dirampas siasat.
- Yang diperjuangkan: peluang adil untuk bekerja, berusaha, dan mengakses sumber daya tanpa kartel maupun monopoli kedekatan.
- Wajahnya dalam keseharian: izin yang jelas syarat dan biayanya, pajak yang pasti ukurannya, serta harga kebutuhan yang tidak dimainkan jaringan.
Nadinya: produktivitas lahir dari kepastian aturan, bukan dari “telepon malam.”
3) Keadilan Hukum: Hukum Berdiri di Atas Nama
Keadilan hukum berarti aturan melindungi yang paling rentan, sementara proses dapat dilacak dari data hingga putusan. Hukum tidak boleh menjadi kostum yang dipakai-simpan sesuka hati.
- Yang diperjuangkan: perlakuan setara di depan hukum, jalur keberatan dan banding yang sungguh bekerja, serta akses informasi perkara untuk publik.
- Wajahnya dalam keseharian: surat menyurat yang jelas, tenggat yang dihormati, dan putusan yang dapat diperiksa dengan akal sehat publik.
- Nadinya: keberanian mengakui salah dan memperbaiki, sebab yang dicintai adalah kebenaran, bukan gengsi jabatan.
Satrisme nyata menegaskan: keadilan sosial, ekonomi, dan hukum bukan cita-cita abstrak, melainkan kebutuhan sehari-hari.
Benang Merah Satrisme
Tiga keadilan-sosial, ekonomi, dan hukum-tidak berjalan sendiri. Semuanya diikat oleh empat paku Satrisme: berpihak pada rakyat (agar arah tidak dibelokkan segelintir orang), jalur hukum (agar perubahan sah dan bertahan), keberanian jujur serta bertanggung jawab (agar koreksi menjadi kebiasaan), dan anti-kekerasan (agar perlawanan memurnikan, bukan merusak formasi).
Satrisme belajar dari barisan bebek: rotasi boleh berganti, formasi menjaga tujuan. Maka yang dijaga bukan nama besar, melainkan tertib yang adil-yang membuat hidup terasa lebih ringan di warung, di sawah, di dermaga, di aula sekolah, hingga ruang tunggu puskesmas.
Tiga Kebiasaan Baru – Mulai Hari Ini
Ada kebiasaan yang menggelapkan, ada pula kebiasaan yang menyalakan. Yang kita pilih adalah yang menyalakan: sederhana, konsisten, dan tumbuh menjadi daya yang tak mudah dibeli. Inilah gaya kita, bukan meniru siapa pun.
Pertama: Kompas Satu Kalimat.
“Kerja layak – layanan dasar – keadilan terjangkau untuk semua.”
Kalimat ini ditempatkan di posko, dinding sekretariat, hingga layar gawai. Bulan demi bulan, ia menjadi bintang penunjuk arah: harga kebutuhan pokok, waktu tunggu layanan, biaya sekolah dan obat, serta akses bantuan. Mimpi diberi angka, agar tak lagi menguap sebagai janji kosong.
Kedua: SOP Warga + Daftar Periksa.
Disusun, diuji, dipakai, direkam, lalu diunggah. Pertanyaan sederhana menjadi pagar: adakah pungli? jelaskah waktu dan biaya? ada keputusan tertulis? disediakan jalur banding? Bila meleset, kita tandai; bila benar, kita publikasikan.
Dengan begitu, petugas pun mendapat insentif berjalan di jalan terang.
Ketiga: Pusat Data Warga.
Jejak adalah ingatan yang tak mudah dimanipulasi. Karena itu, data dikumpulkan, diarsipkan, dipublikasikan, dan dibagikan: lewat papan informasi di balai, hingga folder bersama di gawai. Setiap bulan terbit catatan singkat: berapa kasus, jenis apa, bagaimana statusnya, dan rata-rata waktu penyelesaiannya. Tanpa jejak, keadilan menguap; dengan jejak, ruang gelap kehilangan napas.
Jawab Singkat bagi yang Masih Mendewakan Figur
“Figur kuat mempercepat keputusan.” Mungkin benar. Tetapi kecepatan tanpa pagar kerap berubah menjadi kebrutalan administratif.
Yang selamat hanyalah figur kuat yang tunduk pada sistem kuat. Dan sistem kuat tidak lahir dari tepuk tangan, melainkan dari kebiasaan mematuhi prosedur yang adil-hari ini, besok, dan seterusnya.
Dari Bebek ke Republik
Barisan bebek tidak menuhankan A, B, atau C. Mereka mengagungkan formasi yang menyelamatkan semuanya. Republik yang kita impikan pun demikian. Kesejahteraan dan kesentosaan bukan hadiah silsilah, melainkan buah dari sistem yang kita dirikan, kita tegakkan, dan kita jaga bersama.
Jika besok yang berada di depan bukan A, bukan B, melainkan C-dan barisan tetap tiba bersama-itulah tanda kemenangan. Bukan menang atas orang, melainkan menang atas kebiasaan buruk. Pada titik itu, Satrisme bukan lagi sekadar kata, melainkan cara berjalan.
Dan ketika anak-anak kelak bertanya, “Siapa yang menyelamatkan negeri?” jawaban kita tegas: bukan nama keluarga, melainkan barisan bernama hukum yang adil, institusi yang bekerja, dan budaya kejujuran yang tak bisa dibeli.
Mari rapatkan barisan. Kita melawan dengan formasi. Dengan kesadaran kolektif, rakyat marjinal merebut kembali kedaulatannya.
Dari Lereng Gunung Merapi, 12 September 2025
Amin Mujito
Pejuang Jalanan Yang Selalu Terkalahkan Keadaan
0 Comments
Posting Komentar