Jakarta, penaxpose.com – Surat bernomor 138/TJS/GH/X/2025 yang ditandatangani pengacara Arthur Noija, S.H. dan Arnoldus Alverando K., S.H. dari Gerai Hukum ART & Rekan membuka babak baru dalam polemik panjang antara warga Kemayoran dan Pusat Pengelola Komplek Kemayoran (PPKK).
Namun lebih dari sekadar persoalan hukum, somasi ini menggugat logika kekuasaan: siapa sebenarnya yang berdaulat atas ruang publik?
Somasi kedua tersebut tidak hanya menyentuh aspek administratif, tetapi juga menyentuh akar persoalan — legitimasi, akuntabilitas, dan batas kewenangan lembaga negara dalam mengelola aset publik yang seharusnya menjadi milik bersama warga.
Dalam surat resmi yang ditujukan kepada Direktur Utama PPK Kemayoran, Teddy Robinson Siahaan, dan Direktur Pemberdayaan Kawasan, Yudi Sugara, kuasa hukum warga, Hermawan, menilai tindakan PPKK yang melarang aktivitas masyarakat di kawasan Kemayoran sebagai penyalahgunaan kewenangan administratif.
“PPKK seolah menjalankan fungsi sebagai pemerintahan tersendiri di tengah wilayah administratif Jakarta,”
tulis Gerai Hukum dalam suratnya.
Gerai Hukum juga mengutip Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, yang menegaskan asas kepastian hukum, keterbukaan, dan pelayanan yang baik — asas-asas yang menurut mereka telah diabaikan oleh PPKK.
Padahal, Peraturan Presiden Nomor 43 Tahun 2008 telah mengubah status lembaga tersebut menjadi Badan Layanan Umum (BLU) di bawah Kementerian Sekretariat Negara.
Dengan status itu, PPKK bukanlah pemilik tanah atau otoritas pemerintahan, melainkan hanya pengelola kawasan. Namun dalam praktiknya, lembaga ini kerap bertindak seolah memiliki hak prerogatif atas ruang hidup publik.
Tata Ruang yang Tumpang Tindih
Gerai Hukum juga mempertanyakan dasar hukum penyusunan rencana tata ruang kawasan Kemayoran.
Apakah kawasan tersebut memiliki RTRW atau RDTR tersendiri di luar koordinasi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta?
Jika iya, maka hal ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan anomali tata pemerintahan.
“Tidak ada satu kawasan pun di republik ini yang boleh memiliki tata ruang otonom tanpa persetujuan substansi dari Kementerian Dalam Negeri,”
tegas Gerai Hukum dalam surat somasinya.
Somasi juga menyoroti pelanggaran prinsip keterbukaan publik. Berdasarkan Perda Nomor 7 Tahun 2024 tentang RTRW DKI Jakarta dan Pergub Nomor 112 Tahun 2022 tentang Penyerahan Prasarana, Sarana, dan Utilitas Umum (PSU), setiap pengelola kawasan wajib menyerahkan dokumen fasilitas umum (fasum) dan fasilitas sosial (fasos) kepada pemerintah daerah.
Namun hingga kini, publik belum memperoleh kepastian apakah PPKK sudah menyerahkan dokumen tersebut atau masih menyimpannya di balik tirai birokrasi.
Krisis Tata Kelola: BLU sebagai “Feodalisme Baru”
Kasus Kemayoran mencerminkan paradoks klasik dalam tata kelola publik Indonesia: aset negara dikelola dengan logika privat, sementara masyarakat ditempatkan sebagai “penyusup” di ruang publiknya sendiri.
Data Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) menunjukkan, hingga 2024, lebih dari 60% aset eks-proyek strategis nasional masih dikelola secara terpusat tanpa koordinasi efektif dengan pemerintah daerah.
Kondisi ini menimbulkan ruang abu-abu administratif, tempat kekuasaan tumbuh tanpa mekanisme kontrol publik.
Dalam literatur kebijakan publik, fenomena ini dikenal sebagai institutional drift — penyimpangan kelembagaan ketika lembaga publik kehilangan arah fungsi pelayanan dan berubah menjadi alat kekuasaan administratif.
Alih-alih melayani, BLU seperti PPKK justru menjelma menjadi entitas yang memonopoli keputusan, bahkan atas ruang sosial dan ekonomi masyarakat.
Pertanyaan Besar: Siapa Mengawasi Pengelola Negara?
Pertanyaannya kini bukan lagi apakah PPKK melanggar hukum, melainkan apakah struktur BLU seperti ini masih relevan di era desentralisasi dan keterbukaan informasi publik.
Jika lembaga publik bisa bertindak di luar sistem pemerintahan daerah, bukankah itu berarti negara tengah menciptakan bentuk baru dari feodalisme administratif?
Situasi ini menunjukkan bahwa reformasi birokrasi masih setengah hati — ketika institusi publik masih mempertahankan watak kolonial: menguasai, bukan melayani.
Refleksi Publik: Negara Bukan Pemilik Ruang
Somasi Gerai Hukum menjadi cermin bagi negara untuk bercermin.
Negara bukanlah pemilik ruang publik, melainkan pengelola kepercayaan rakyat.
Dan ketika warga harus menggunakan hukum untuk memaksa negara menaati hukumnya sendiri, itu bukan sekadar perkara Kemayoran — melainkan tanda krisis legitimasi negara dalam mengelola ruang hidup rakyatnya.
(Emy)

0 Comments
Posting Komentar