Manajemen Keuangan Perusahaan di Era Digital Payment: Tantangan dan Peluang

Manajemen Keuangan Perusahaan di Era Digital Payment: Tantangan dan Peluang


Penulis          : Shilla Khairani Putri
NIM                : 2410101059
Mata Kuliah : Manajemen Keuangan Perusahaan Universitas Islam Tazkia Bogor

Bayangkan sebuah perusahaan ritel besar yang setiap harinya melayani jutaan transaksi. Dahulu, arus kas perusahaan ini sangat bergantung pada pembayaran tunai dan transfer bank konvensional. Kini, peta bisnis berubah drastis: lebih dari 70% transaksi dilakukan melalui dompet digital, QRIS, hingga buy now pay later (BNPL). Perubahan ini tidak hanya soal cara membayar, tetapi juga cara perusahaan mengelola keuangannya. Pertanyaannya: siapkah manajemen keuangan perusahaan menghadapi era digital payment yang serba cepat, transparan, sekaligus penuh risiko?

Transformasi digital di sektor keuangan membawa dampak signifikan bagi perusahaan. Berdasarkan proyeksi industri yang dilaporkan Katadata, nilai transaksi uang elektronik di Indonesia diperkirakan menembus Rp2.000 triliun pada 2025. Pertumbuhan eksponensial ini menandakan bahwa digital payment bukan lagi sekadar tren, melainkan kebutuhan operasional.

Namun, arus kas yang sebelumnya bisa diprediksi lebih stabil kini menjadi semakin kompleks. Perusahaan harus menghadapi biaya merchant discount rate (MDR), risiko kebocoran data, potensi fraud digital, hingga perubahan perilaku konsumen yang semakin mengandalkan cicilan instan seperti BNPL.

Masalah lain adalah kesenjangan adaptasi. Banyak perusahaan besar mampu mengintegrasikan digital payment gateway dengan sistem Enterprise Resource Planning (ERP), sementara UMKM sering kali kesulitan mencatat transaksi digital secara akurat. Akibatnya, muncul potensi mismatch antara realisasi keuangan dengan pencatatan dalam laporan keuangan.

Di satu sisi, digital payment memberikan peluang besar bagi perusahaan. Transparansi transaksi meningkat karena semua kegiatan tercatat otomatis dalam sistem. Perusahaan juga dapat memanfaatkan big data dari pola pembayaran konsumen untuk menyusun strategi pemasaran yang lebih efektif. Selain itu, digital payment mempercepat siklus kas, yang berarti perusahaan bisa mengelola modal kerja lebih efisien.

Namun, disisi lain, ada tantangan serius. Pertama, risiko keamanan data dan fraud. Laporan PwC Global Economic Crime and Fraud Survey 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 40% perusahaan global pernah mengalami kejahatan siber terkait pembayaran digital. Kedua, ketergantungan pada infrastruktur digital. Gangguan server atau kegagalan sistem pembayaran bisa melumpuhkan arus kas harian. Ketiga, regulasi yang terus berkembang. Misalnya, BI dan OJK terus memperketat aturan terkait keamanan data, integrasi QRIS, dan pelaporan transaksi digital.

Dari perspektif manajemen keuangan, tantangan terbesar adalah perubahan pola likuiditas. Jika dulu transaksi tunai bisa langsung digunakan, kini ada jeda settlement antara penyedia layanan pembayaran dan perusahaan. Bagi perusahaan dengan arus kas ketat, delay satu atau dua hari saja bisa mengganggu likuiditas operasional.

Meski begitu, jika dikelola dengan tepat, digital payment dapat menjadi leverage strategis. Contohnya, GoTo dan Shopee memanfaatkan layanan dompet digital bukan hanya sebagai alat pembayaran, tetapi juga sebagai instrumen pengelolaan dana dan customer engagement. Perusahaan-perusahaan ini berhasil memonetisasi data keuangan menjadi sumber keuntungan baru.

Apa yang harus dilakukan perusahaan?

Pertama, integrasi sistem keuangan digital. Perusahaan harus memastikan bahwa setiap transaksi digital langsung tercatat dalam sistem akuntansi. Ini bisa dicapai dengan menghubungkan payment gateway ke ERP atau software akuntansi berbasis cloud.

Kedua, penguatan manajemen risiko digital. Perusahaan wajib berinvestasi pada keamanan siber, enkripsi data, dan sistem deteksi fraud. Tidak kalah penting, literasi digital bagi karyawan keuangan juga harus ditingkatkan.

Ketiga, diversifikasi instrumen pembayaran. Jangan hanya mengandalkan satu platform. Semakin beragam kanal pembayaran, semakin kecil risiko tergantung pada satu sistem yang mungkin bermasalah.

Keempat, kolaborasi dengan regulator dan fintech. Perusahaan perlu aktif mengikuti kebijakan BI dan OJK agar tidak tertinggal dari sisi kepatuhan. Kolaborasi juga membuka peluang inovasi, misalnya integrasi sistem keuangan perusahaan dengan layanan digital banking berbasis syariah yang kini mulai berkembang.

Era digital payment bukan ancaman, melainkan peluang untuk mengubah manajemen keuangan perusahaan menjadi lebih modern, transparan, dan responsif. Tantangannya nyata: risiko fraud, keterlambatan settlement, hingga regulasi yang dinamis. Namun, dengan strategi integrasi sistem, penguatan keamanan, dan kolaborasi lintas sektor, perusahaan bisa menjadikan digital payment sebagai motor pertumbuhan keuangan jangka panjang.

Pada akhirnya, pertanyaan bagi perusahaan bukan lagi “apakah perlu beradaptasi dengan digital payment?”, melainkan “seberapa cepat kita bisa beradaptasi agar tetap relevan?”

Husnan Bey Fananie: Jejak Parmusi yang Siap Menghidupkan Kembali PPP

Husnan Bey Fananie: Jejak Parmusi yang Siap Menghidupkan Kembali PPP

Jakarta, penaxpose.com – Pencalonan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada muktamar mendatang mulai memunculkan sejumlah nama. Salah satu yang mencuri perhatian adalah Prof. Dr. Husnan Bey Fananie. Kehadirannya menghadirkan harapan baru sekaligus membuka ruang diskusi penting: apakah PPP kali ini akan memilih pemimpin visioner, atau sekadar mengulang pola lama “asal bapak senang”?

Figur Intelektual dan Politisi Lapangan

Prof. Husnan Bey Fananie bukanlah sosok asing dalam dunia politik dan pemikiran nasional. Sebagai akademisi bergelar profesor, ia membawa tradisi intelektual yang kuat ke dalam gelanggang politik. Kemampuan berpikir analitis, menyusun strategi berbasis data, serta merumuskan arah kebijakan modern menjadi modal besar yang jarang dimiliki politisi.

Lebih jauh, kiprahnya di DPR maupun berbagai posisi strategis di PPP menunjukkan bahwa ia bukan sekadar “menara gading”. Ia adalah politisi lapangan yang memahami dinamika politik praktis sekaligus strategi besar partai.

Menggerakkan Umat dari Akar Rumput

Kapasitas kepemimpinan Husnan Bey Fananie semakin teruji saat memimpin Parmusi (Persatuan Muslimin Indonesia). Ia berhasil menjadikan Parmusi bukan hanya organisasi formalitas, melainkan wadah konsolidasi umat di akar rumput.

Di tangannya, Parmusi hidup di tengah masyarakat: menggerakkan jaringan dakwah, kegiatan sosial, hingga pemberdayaan ekonomi. Jejak ini penting bagi PPP, karena partai yang mengklaim diri sebagai rumah besar umat Islam harus bersandar pada kekuatan nyata di masyarakat, bukan sekadar jargon elit.

Husnan Bey Fananie menunjukkan kemampuannya memadukan gerakan sosial-keagamaan dengan visi kebangsaan. Kepemimpinan berbasis akar rumput inilah yang sangat dibutuhkan PPP untuk bangkit.

Tantangan Besar PPP

Meski demikian, tantangan nyata tetap menanti. Pasca-Pemilu 2024, PPP menghadapi krisis elektoral, citra yang melemah, serta friksi internal yang tak kunjung selesai.

Karena itu, partai berlambang Ka’bah ini membutuhkan lebih dari sekadar pergantian ketua umum. Diperlukan transformasi menyeluruh: mulai dari rebranding citra, regenerasi kepemimpinan, peneguhan kembali posisi sebagai rumah besar umat, hingga strategi untuk merebut hati pemilih muda yang semakin rasional.

Figur Pemersatu atau Representasi Faksi?

Salah satu ujian terberat adalah kemampuan merangkul semua faksi di internal partai. Selama ini, PPP sering terjebak dalam tarik-menarik kepentingan elit yang berujung pada fragmentasi.

Husnan Bey Fananie akan diuji: apakah ia mampu tampil sebagai figur pemersatu, membangun komunikasi lintas kelompok, dan mengembalikan kepercayaan kader? Jika iya, maka kapasitas intelektual, pengalaman politik, dan rekam jejak sosial-religiusnya akan menemukan momentum terbaik.

Kesimpulan

PPP tidak boleh lagi terjebak pada pola lama dalam memilih pemimpin. Partai ini membutuhkan sosok visioner, berani, berprestasi, dan berakar kuat di tengah umat.

Dalam konteks itu, Prof. Dr. Husnan Bey Fananie menawarkan kombinasi langka: akademisi visioner, politisi berpengalaman, diplomat berprestasi, sekaligus pembina pesantren yang dekat dengan umat.

Apakah ia akan menjadi nakhoda tepat untuk membawa PPP kembali ke jalur kejayaan? Jawabannya akan ditentukan di Muktamar mendatang. Sejarah akan mencatat pilihan kader PPP kali ini: memilih sekadar formalitas, atau memilih sosok dengan kapasitas sejati.

Editor: Adang

Filosofi Barisan Bebek, Bukan Barisan Nama, Satrisme: Melawan Kultus Figur Dengan Sistem Yang Memuliakan Rakyat Marjinal

Filosofi Barisan Bebek, Bukan Barisan Nama, Satrisme: Melawan Kultus Figur Dengan Sistem Yang Memuliakan Rakyat Marjinal

Jogjakarta, penaxpose.com - Di hamparan pematang basah Rawa Bebek, kawanan bebek bergerak silih berganti memimpin barisan: hari ini bebek A berada di depan, esok digantikan bebek B, lusa tampak bebek C mengambil alih. Namun, meski pemimpin berganti, barisan tetap tiba bersama di tujuan.

Dari pemandangan sederhana itu, rakyat yang lama digencet bisa belajar satu hal: hasil yang baik lahir dari formasi yang benar, bukan dari nama yang dielu-elukan. Filsuf Yunani, Aristoteles, pernah menegaskan bahwa lebih pantas hukum yang memerintah ketimbang manusia mana pun. Kalimat itu menjadi penegasan arah: rule of law bukan rule of man. Itulah napas Satrisme-gerak menegakkan sistem yang adil, bukan menyerahkan nasib pada silsilah.

Saya menulis bukan untuk memanjakan telinga elit, melainkan untuk kawan-kawan buruh, nelayan, petani, pedagang kecil, pengemudi ojek, ibu-ibu yang antre di puskesmas, hingga anak muda yang gelisah melihat masa depan tersumbat dinasti.

Penolakan kita bukan pada nama seseorang, melainkan pada penyembahan terhadap nama. Ketika kebijakan ditarik oleh silsilah, negara kehilangan akal sehat. Hukum pun berubah menjadi kostum: dipakai bila menguntungkan, disimpan bila menghalangi. Pola semacam ini harus segera diakhiri.

Kita harus mengganti kiblat. Pertanyaan mendasar bukan siapa yang memimpin, melainkan bagaimana sistem itu bekerja untuk memimpin. Pemimpin sejati adalah mereka yang membangun sistem sehingga dirinya mudah digantikan tanpa mengguncang hasil. Seperti kawanan bebek di pematang: yang di depan hanya memecah angin secukupnya, lalu bergeser. Tidak ada pemujaan individu-yang diagungkan adalah formasi.

Dalam kehidupan bernegara, formasi itu bernama konstitusi, institusi, dan budaya taat hukum. Di dalamnya ada pemisahan serta pengimbangan kekuasaan, ada proses yang bisa dilacak, diprotes, dan diperbaiki. Filsuf John Rawls pernah mengingatkan, keadilan adalah kebajikan pertama institusi. Sebab bila institusinya busuk, kisah tentang pemimpin baik di atasnya akan cepat berubah menjadi dongeng pahit.

Dari Sistem ke Piring Nasi

Ini bukan sekadar diskusi seminar. Yang dibicarakan adalah beras di piring dan tenang di dada.

Pertama, kepastian aturan mampu menurunkan biaya-biaya kecil yang selama ini membuat usaha rakyat megap-megap.

Kedua, impersonalitas kebijakan-ketika data dan norma lebih berkuasa daripada telepon pribadi-mampu menekan korupsi dan mempercepat antrean layanan publik.

Ketiga, mekanisme checks and balances dapat menghentikan pemborosan yang sering berkamuflase sebagai “proyek.”

Keempat, transparansi dan akuntabilitas menyembuhkan rasa curiga, membuat partisipasi warga bukan lagi bahan olok-olok.

Inilah Satrisme: turun dari langit gagasan ke tanah kenyataan. Sistem yang jernih bukan kemewahan, melainkan kebutuhan pokok-setara dengan air bagi kehidupan.

Kita Melawan, dengan Cara yang Bermartabat

Perlawanan ini bukan amuk sesaat yang cepat padam, melainkan disiplin panjang yang terus menyala. Kita melawan dengan formasi-barisan rapi yang membuat oligarki kehilangan ruang gelapnya.

Ada empat paku Satrisme yang dipegang, dan diajak untuk bersama-sama dijaga:

1. Berpihak pada rakyat. Kebijakan diuji oleh mereka yang paling terdampak, bukan yang paling berkuasa.

2. Menjunjung jalur hukum. Prosedur adalah pagar, bukan belenggu; ia melindungi yang lemah dari tangan yang gatal.

3. Keberanian jujur dan bertanggung jawab. Berani menolak konflik kepentingan, berani diaudit, dan berani meralat tanpa gengsi.

4. Anti-kekerasan dan anti-anarki. Jalan yang ditempuh adalah jalan tertib, sebab amuk hanya akan mematahkan barisan yang sedang dijaga.

Filsuf politik Hannah Arendt pernah menegaskan, kekuasaan adalah kemampuan bertindak bersama. Kekerasan hanyalah pengganti murahan ketika kekuatan bersama hilang. Karena itu, yang kita bangun adalah kekuatan kolektif-bukan kultus, bukan bendera keluarga, melainkan formasi.

Satrisme Nyata: Jalan ke Keadilan Sosial, Ekonomi, dan Hukum

Satrisme tidak berhenti pada semboyan. Ia memusatkan pandangan pada keadilan-bukan kehendak siapa pun, melainkan tertib yang memuliakan semua orang. Aristoteles pernah mengingatkan, “lebih pantas hukum yang memerintah daripada manusia mana pun.” Dari kesadaran itu, rakyat marjinal menajamkan tiga tujuan besar: keadilan sosial, keadilan ekonomi, dan keadilan hukum.

1) Keadilan Sosial: Martabat sebagai Titik Berangkat

Keadilan sosial berarti setiap orang dihitung, bukan sekadar tercatat. Hak dasar seperti identitas, pendidikan, kesehatan, dan bantuan sosial hadir tanpa syarat silsilah. Kesetaraan akses bukan kemurahan hati penguasa, melainkan konsekuensi dari martabat warga.

- Yang diperjuangkan: tidak ada warga yang tertinggal dari layanan dasar karena miskin, berbeda, atau jauh dari pusat.

- Wajahnya dalam keseharian: antrean yang bergerak, informasi yang terbuka, keputusan yang bisa dipertanyakan.

- Nadinya: solidaritas teratur, bukan iba sesaat, agar yang lemah dapat berdiri, bukan sekadar ditolong.

2) Keadilan Ekonomi: Rezeki Tanpa Pagar Tersembunyi

Keadilan ekonomi berarti biaya hidup tidak digembungkan oleh ketidakpastian dan pagar-pagar tersembunyi yang hanya dikenali oleh mereka yang dekat kekuasaan. Pasar harus terbuka bagi usaha kecil, sementara tanah dan laut menjadi sumber nafkah yang tidak dirampas siasat.

- Yang diperjuangkan: peluang adil untuk bekerja, berusaha, dan mengakses sumber daya tanpa kartel maupun monopoli kedekatan.

- Wajahnya dalam keseharian: izin yang jelas syarat dan biayanya, pajak yang pasti ukurannya, serta harga kebutuhan yang tidak dimainkan jaringan.

Nadinya: produktivitas lahir dari kepastian aturan, bukan dari “telepon malam.”

3) Keadilan Hukum: Hukum Berdiri di Atas Nama

Keadilan hukum berarti aturan melindungi yang paling rentan, sementara proses dapat dilacak dari data hingga putusan. Hukum tidak boleh menjadi kostum yang dipakai-simpan sesuka hati.

- Yang diperjuangkan: perlakuan setara di depan hukum, jalur keberatan dan banding yang sungguh bekerja, serta akses informasi perkara untuk publik.

- Wajahnya dalam keseharian: surat menyurat yang jelas, tenggat yang dihormati, dan putusan yang dapat diperiksa dengan akal sehat publik.

- Nadinya: keberanian mengakui salah dan memperbaiki, sebab yang dicintai adalah kebenaran, bukan gengsi jabatan.

Satrisme nyata menegaskan: keadilan sosial, ekonomi, dan hukum bukan cita-cita abstrak, melainkan kebutuhan sehari-hari.

Benang Merah Satrisme

Tiga keadilan-sosial, ekonomi, dan hukum-tidak berjalan sendiri. Semuanya diikat oleh empat paku Satrisme: berpihak pada rakyat (agar arah tidak dibelokkan segelintir orang), jalur hukum (agar perubahan sah dan bertahan), keberanian jujur serta bertanggung jawab (agar koreksi menjadi kebiasaan), dan anti-kekerasan (agar perlawanan memurnikan, bukan merusak formasi).

Satrisme belajar dari barisan bebek: rotasi boleh berganti, formasi menjaga tujuan. Maka yang dijaga bukan nama besar, melainkan tertib yang adil-yang membuat hidup terasa lebih ringan di warung, di sawah, di dermaga, di aula sekolah, hingga ruang tunggu puskesmas.

Tiga Kebiasaan Baru – Mulai Hari Ini

Ada kebiasaan yang menggelapkan, ada pula kebiasaan yang menyalakan. Yang kita pilih adalah yang menyalakan: sederhana, konsisten, dan tumbuh menjadi daya yang tak mudah dibeli. Inilah gaya kita, bukan meniru siapa pun.

Pertama: Kompas Satu Kalimat.

“Kerja layak – layanan dasar – keadilan terjangkau untuk semua.”

Kalimat ini ditempatkan di posko, dinding sekretariat, hingga layar gawai. Bulan demi bulan, ia menjadi bintang penunjuk arah: harga kebutuhan pokok, waktu tunggu layanan, biaya sekolah dan obat, serta akses bantuan. Mimpi diberi angka, agar tak lagi menguap sebagai janji kosong.

Kedua: SOP Warga + Daftar Periksa.

Disusun, diuji, dipakai, direkam, lalu diunggah. Pertanyaan sederhana menjadi pagar: adakah pungli? jelaskah waktu dan biaya? ada keputusan tertulis? disediakan jalur banding? Bila meleset, kita tandai; bila benar, kita publikasikan.

Dengan begitu, petugas pun mendapat insentif berjalan di jalan terang.

Ketiga: Pusat Data Warga.

Jejak adalah ingatan yang tak mudah dimanipulasi. Karena itu, data dikumpulkan, diarsipkan, dipublikasikan, dan dibagikan: lewat papan informasi di balai, hingga folder bersama di gawai. Setiap bulan terbit catatan singkat: berapa kasus, jenis apa, bagaimana statusnya, dan rata-rata waktu penyelesaiannya. Tanpa jejak, keadilan menguap; dengan jejak, ruang gelap kehilangan napas.

Jawab Singkat bagi yang Masih Mendewakan Figur

“Figur kuat mempercepat keputusan.” Mungkin benar. Tetapi kecepatan tanpa pagar kerap berubah menjadi kebrutalan administratif.

Yang selamat hanyalah figur kuat yang tunduk pada sistem kuat. Dan sistem kuat tidak lahir dari tepuk tangan, melainkan dari kebiasaan mematuhi prosedur yang adil-hari ini, besok, dan seterusnya.

Dari Bebek ke Republik

Barisan bebek tidak menuhankan A, B, atau C. Mereka mengagungkan formasi yang menyelamatkan semuanya. Republik yang kita impikan pun demikian. Kesejahteraan dan kesentosaan bukan hadiah silsilah, melainkan buah dari sistem yang kita dirikan, kita tegakkan, dan kita jaga bersama.

Jika besok yang berada di depan bukan A, bukan B, melainkan C-dan barisan tetap tiba bersama-itulah tanda kemenangan. Bukan menang atas orang, melainkan menang atas kebiasaan buruk. Pada titik itu, Satrisme bukan lagi sekadar kata, melainkan cara berjalan.

Dan ketika anak-anak kelak bertanya, “Siapa yang menyelamatkan negeri?” jawaban kita tegas: bukan nama keluarga, melainkan barisan bernama hukum yang adil, institusi yang bekerja, dan budaya kejujuran yang tak bisa dibeli.

Mari rapatkan barisan. Kita melawan dengan formasi. Dengan kesadaran kolektif, rakyat marjinal merebut kembali kedaulatannya.


Dari Lereng Gunung Merapi, 12 September 2025
Amin Mujito
Pejuang Jalanan Yang Selalu Terkalahkan Keadaan

Pertarungan Ketua Umum PPP: Status Quo atau Harapan Baru

Pertarungan Ketua Umum PPP: Status Quo atau Harapan Baru

Jakarta, penaxpose.com | Kamis, 11 September 2025

Penulis: A. Hidayat, Aktivis Pergerakan Islam (API)

Menjelang Muktamar X Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dijadwalkan berlangsung pada akhir September 2025 di Jakarta, bursa calon Ketua Umum mulai mengerucut pada dua figur utama: Muhammad Mardiono, Pelaksana Tugas Ketua Umum PPP saat ini, dan Husnan Bey Fananie, Ketua Umum Parmusi, eksponen fusi PPP 1973, mantan anggota DPR RI Fraksi PPP, serta mantan Dubes RI untuk Azerbaijan.

Keduanya menjadi simbol tarik-menarik kepemimpinan di tubuh PPP: status quo vs perubahan.

Figur Perubahan: Husnan Bey Fananie

Husnan Bey Fananie secara resmi mendeklarasikan diri sebagai calon Ketua Umum pada 18 Agustus 2025. Mengusung misi mengembalikan marwah ideologis dan historis PPP, ia menegaskan komitmennya untuk “mengayomi rakyat” dan “mewakafkan diri untuk partai”.

Tidak hanya berhenti pada deklarasi, Husnan juga menggandeng firma hukum ATS & Partner guna memastikan jalannya Muktamar sesuai AD/ART partai. Langkah ini menjadi sinyal keseriusannya bertarung secara terbuka.

Dukungan terhadap Husnan mulai mengalir, terutama dari pengurus wilayah, cabang, serta eks kader senior dan tokoh-tokoh fusi PPP. Di mata kelompok reformis, ia dianggap sebagai representasi harapan baru bagi kebangkitan PPP pasca keterpurukan di Pemilu 2024.

Figur Status Quo: Muhammad Mardiono

Di sisi lain, Muhammad Mardiono, yang menjabat sebagai Plt Ketua Umum sejak 2022, mengandalkan legitimasi strukturalnya. Ia berupaya mengonsolidasikan dukungan melalui komunikasi intens dengan sejumlah DPW dan DPC.

Namun, meski secara diam-diam ada dukungan kepadanya, hasil buruk Pemilu 2024—yang membuat PPP gagal lolos ke parlemen—membayangi kepemimpinannya. Kritik tajam muncul dari kader akar rumput dan kelompok reformis yang menuntut perubahan total arah partai.

Head-to-Head: Siapa Lebih Berpeluang?

Husnan Bey Fananie

  • Deklarasi resmi sebagai caketum
  • Didukung kuat eksponen fusi 1973 & tokoh pesantren
  • Punya jaringan di kalangan ulama
  • Pernah menjabat Wakil Sekjen DPP PPP
  • Eks Anggota DPR RI & Dubes RI untuk Azerbaijan
  • Staf Khusus Wapres (era Hamzah Haz)

Muhammad Mardiono

  • Plt Ketua Umum sejak 2022
  • Belum deklarasi resmi sebagai caketum
  • Memiliki jejaring struktural di DPP
  • Namun menghadapi resistensi internal signifikan
  • Legitimasi politik dipertanyakan pasca hasil Pemilu 2024

Momentum Muktamar X

Secara momentum politik, Husnan Bey Fananie dinilai lebih berpeluang meraih dukungan luas dari basis kader dan ulama. Sementara Mardiono masih memiliki kekuatan struktur, namun harus menghadapi oposisi internal yang kuat.

Muktamar X PPP dipastikan akan menjadi pertarungan ideologis sekaligus strategis: mempertahankan kepemimpinan lama dengan stabilitas struktural, atau membuka jalan bagi wajah baru dengan semangat reformasi.

Waktu yang tersisa hingga akhir September akan menentukan. Siapa pun yang mampu mengonsolidasikan barisan lebih kuat, dialah yang akan membawa PPP menentukan arah baru menuju Pemilu 2029.

Dugaan Politik Uang dan Posisi Mardiono di PPP

Dugaan Politik Uang dan Posisi Mardiono di PPP

Jakarta, penaxpose.com | Minggu, 6 September 2025

Isu dugaan politik uang yang menyeret Muhamad Mardiono, Plt Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menjadi sorotan hangat. Walaupun hingga kini belum ada bukti kuat yang dapat mengonfirmasi tuduhan tersebut, isu ini tetap signifikan karena muncul di tengah proses konsolidasi internal PPP jelang Muktamar.

Dalam dunia politik Indonesia, politik uang bukanlah isu baru. Ia kerap muncul setiap kali terjadi perebutan kursi kepemimpinan, baik di level partai maupun kontestasi elektoral. Dugaan bahwa dukungan yang mengalir deras kepada Mardiono tidak murni dari semangat ideologis, melainkan berbalut insentif finansial, tentu menimbulkan pertanyaan serius.

PPP sendiri tengah berada di persimpangan jalan. Sebagai partai dengan basis sejarah panjang, partai ini harus menimbang ulang apakah akan melanjutkan kepemimpinan yang pragmatis atau kembali pada identitas ideologis yang berbasis aspirasi umat. Jika isu politik uang benar terjadi, maka hal ini dapat mengikis kepercayaan publik dan menurunkan legitimasi PPP sebagai partai Islam yang mengedepankan nilai moral.

Bagi Mardiono, isu ini bisa menjadi ujian terberat dalam menjaga wibawanya. Sebagai Plt Ketum yang akan maju dalam kontestasi internal, ia dituntut bukan hanya membuktikan integritas personal, tetapi juga memastikan proses politik di PPP bersih dari praktik transaksional. Klarifikasi, transparansi, dan pembuktian komitmen terhadap politik tanpa mahar harus ditunjukkan secara nyata, bukan sekadar jargon.

Dari perspektif publik, dugaan ini sekali lagi mengingatkan kita bahwa politik uang adalah racun demokrasi. Ia mereduksi proses politik menjadi sekadar transaksi jangka pendek, bukan perjuangan ide dan gagasan. Bila PPP ingin tetap relevan di panggung politik nasional, terutama setelah melewati Pemilu 2024 dengan hasil yang mengecewakan, partai ini harus berani menjawab isu ini secara terbuka.

Pada akhirnya, isu dugaan politik uang terhadap Mardiono bukan sekadar soal individu, tetapi juga soal arah PPP ke depan. Apakah partai ini akan dibiarkan larut dalam praktik lama yang pragmatis, ataukah berani tampil sebagai partai bersih yang memegang teguh nilai perjuangan? Jawaban itu akan sangat menentukan masa depan PPP di tengah krisis kepercayaan publik terhadap partai politik.

Penulis: A. Hidayat (Aktivis Pergerakan Islam) 

Siapa Kandidat Terkuat Ketua Umum PPP?

Siapa Kandidat Terkuat Ketua Umum PPP?


Jakarta, penaXpose.com | Rabu, 12 Maret 2025

Oleh: Ahmad Suhijriah, Komunikolog

Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tengah bersiap menggelar Muktamar untuk memilih Ketua Umum baru. Agenda ini dijadwalkan berlangsung setelah Idulfitri 2025, diperkirakan pada akhir April atau awal Mei. Sejumlah nama dari internal dan eksternal partai mulai disebut-sebut sebagai kandidat kuat dalam perebutan posisi Ketua Umum PPP.

Para calon Ketua Umum PPP diharapkan mampu mengembalikan suara partai agar kembali lolos ke parlemen. Selain itu, mereka juga dituntut untuk mengonsolidasikan seluruh kader di Indonesia dan membuktikan bahwa PPP tetap mampu memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa.

Nama-Nama Kandidat Ketua Umum PPP

Beberapa nama yang muncul dalam bursa calon Ketua Umum PPP berdasarkan pemberitaan media, antara lain:

  1. Sandiaga Uno

    • Mantan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif di era Presiden Joko Widodo.
    • Pernah menjabat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bapilu) PPP pada Pemilu 2024.
  2. Taj Yasin Maimoen (Gus Yasin)

    • Putra ulama besar KH Maimoen Zubair.
    • Saat ini menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah.
  3. Saifullah Yusuf (Gus Ipul)

    • Mantan Wali Kota Pasuruan dan Wakil Gubernur Jawa Timur.
    • Saat ini menjabat sebagai Menteri Sosial di Kabinet Presiden Prabowo Subianto.
  4. Dudung Abdurachman

    • Mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) TNI.
    • Saat ini dipercaya Presiden Prabowo sebagai Staf Khusus Utusan Presiden Bidang Pertahanan.
  5. Husnan Bey Fananie

    • Mantan Wakil Sekjen PPP di era kepemimpinan Surya Dharma Ali.
    • Seorang cendekiawan muslim, diplomat, dan politisi.
    • Pernah menjabat sebagai anggota DPR RI (2009-2014) dan Duta Besar Indonesia untuk Azerbaijan (2016-2020).
    • Saat ini menjabat sebagai Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (Parmusi), salah satu organisasi yang ikut membentuk PPP pada tahun 1973.
    • Cucu dari KH Zainuddin Fananie Bey, pendiri Pondok Modern Pesantren Gontor.

Persyaratan dan Mekanisme Pemilihan

Dalam pemilihan Ketua Umum PPP, salah satu syarat utama adalah pernah menjabat satu tingkat di bawah Ketua Umum, sesuai dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai. Namun, syarat ini masih dapat berubah tergantung keputusan peserta Muktamar.

Keputusan akhir mengenai siapa yang akan menjadi Ketua Umum PPP akan ditentukan dalam Muktamar mendatang. Pemilihan ini akan mempertimbangkan aspirasi kader, rekam jejak kandidat, serta aturan partai yang berlaku.

Editor: Ah

Pengaruh Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Partisipasi Mahasiswa dalam Kegiatan Politik Kampus

Pengaruh Pendidikan Kewarganegaraan terhadap Partisipasi Mahasiswa dalam Kegiatan Politik Kampus

Jakarta, penaXpose.com | Kamis, 23 Januari 2025

Penulis: Magdalena Murniwati Zebua (211011500097)
Mahasiswa Universitas Pamulang (UNPAM)

Pendidikan kewarganegaraan memiliki peran penting dalam membentuk generasi muda yang memahami hak dan kewajibannya sebagai warga negara. Di lingkungan kampus, pendidikan ini menjadi sarana inspirasi bagi mahasiswa untuk lebih aktif dalam kegiatan politik kampus, seperti pemilihan ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), diskusi, seminar, hingga aksi advokasi yang membahas isu-isu sosial.

Makna dan Relevansi Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan bertujuan membekali mahasiswa dengan pengetahuan tentang sistem politik, nilai-nilai demokrasi, dan hak asasi manusia. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, pendidikan ini dirancang untuk membentuk karakter mahasiswa agar menjadi warga negara yang bertanggung jawab dan berdaya kritis.

Pada tingkat universitas, mata kuliah ini menjadi komponen penting dalam kurikulum wajib. Efektivitasnya bergantung pada metode pengajaran yang mampu menghubungkan teori dengan praktik nyata, seperti simulasi pemilu kampus atau forum diskusi kebijakan.

Faktor Pendukung Partisipasi Mahasiswa

1. Kurikulum yang Inovatif

Kurikulum pendidikan kewarganegaraan yang menyertakan pendekatan praktis dapat menarik minat mahasiswa terhadap isu-isu politik. Simulasi pemilu lintas jurusan, misalnya, memberikan pengalaman langsung tentang proses demokrasi.

2. Peran Aktif Pengajar

Dosen yang memotivasi dan menggunakan metode pembelajaran relevan dapat meningkatkan kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya politik kampus. Penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa yang aktif berdiskusi tentang kebijakan publik di kelas lebih cenderung terlibat dalam organisasi kampus.

3. Budaya Demokrasi di Kampus

Lingkungan kampus yang mendukung demokrasi, seperti debat kandidat pemilihan ketua BEM secara terbuka, menjadi wadah pembelajaran politik yang efektif. Sebaliknya, kampus yang minim kegiatan politik menghasilkan mahasiswa yang kurang peduli terhadap partisipasi politik.

4. Kesadaran Mahasiswa

Pendidikan kewarganegaraan membangun kesadaran bahwa kegiatan politik kampus bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari proses belajar demokrasi. Mahasiswa yang aktif dalam organisasi kampus umumnya memiliki wawasan lebih luas tentang tata kelola organisasi dan nilai-nilai kepemimpinan.

Dampak Positif Partisipasi Politik Kampus

1. Penguatan Kompetensi Demokrasi

Mahasiswa yang terlibat dalam politik kampus cenderung memiliki kemampuan komunikasi, analisis, dan kepemimpinan yang lebih baik. Hal ini menjadi modal penting untuk menghadapi tantangan di masa depan, baik sebagai individu maupun pemimpin masyarakat.

2. Pembentukan Pemimpin Muda

Kegiatan politik kampus melatih mahasiswa memahami pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan demokrasi. Banyak pemimpin nasional memulai karier mereka dari organisasi kampus, menjadikannya ruang latihan yang ideal.

3. Kesadaran Sosial yang Lebih Kuat

Partisipasi dalam advokasi isu-isu sosial, seperti lingkungan atau kesetaraan gender, membantu mahasiswa mengembangkan empati dan tanggung jawab terhadap kondisi masyarakat.

Kesimpulan

Pendidikan kewarganegaraan memberikan kontribusi signifikan dalam membentuk mahasiswa yang sadar politik dan bertanggung jawab. Dengan metode pengajaran yang efektif serta dukungan dari lingkungan kampus, mahasiswa dapat terinspirasi untuk berperan aktif dalam berbagai kegiatan politik kampus.

Keterlibatan ini tidak hanya melatih mahasiswa menjadi pemimpin yang kompeten, tetapi juga membangun generasi muda yang peduli terhadap nilai-nilai demokrasi. Oleh karena itu, sinergi antara pengajar, kurikulum, dan budaya demokrasi di kampus sangat penting untuk memastikan pendidikan kewarganegaraan menghasilkan dampak positif secara maksimal.

Membangun Sinergi Antara Perguruan Tinggi dan Sekolah: Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) sebagai Langkah Nyata Pendidikan Bermakna

Membangun Sinergi Antara Perguruan Tinggi dan Sekolah: Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) sebagai Langkah Nyata Pendidikan Bermakna

 

Jakarta, penaXpose.com | Jumat, 17 Januari 2025

Pendidikan bukan hanya sekadar teori yang diajarkan di dalam kelas, tetapi juga tentang bagaimana ilmu dapat diterapkan dalam kehidupan nyata. Hal inilah yang menjadi dasar pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL), sebuah program yang dirancang untuk mempersiapkan mahasiswa menjadi pendidik profesional dengan pengalaman langsung di lapangan.

Pada Selasa, 14 Januari 2024, Universitas Pamulang melalui Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Prodi PPKn secara resmi menyerahkan mahasiswa PPL kepada SMK Falatehan. Prosesi serah terima ini dilakukan oleh Dosen Pembimbing, Bapak Saepudin Karta Sasmita, S.Pd., M.Pd., dan diterima langsung oleh Kepala Sekolah SMK Falatehan, Bapak Mohamad Irvan, S.Pd.

Momentum ini bukan sekadar simbolis, melainkan langkah nyata dalam membangun kolaborasi antara kampus dan sekolah. SMK Falatehan, sebagai institusi pendidikan yang memiliki peran strategis dalam membekali siswa dengan keterampilan vokasi, menjadi tempat ideal bagi mahasiswa untuk belajar dan memberikan kontribusi nyata kepada dunia pendidikan.

Kerja sama ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana mahasiswa untuk mempraktikkan teori yang dipelajari di bangku kuliah, tetapi juga menjadi ajang kontribusi nyata dalam memajukan pendidikan di tingkat sekolah menengah. Mahasiswa diharapkan mampu menjadi teladan, membangun hubungan baik dengan siswa, serta menyampaikan materi pembelajaran secara efektif. Dengan pengalaman langsung di lapangan, mahasiswa mendapatkan kesempatan untuk memahami dinamika pembelajaran, berinteraksi dengan siswa, hingga menghadapi tantangan yang dihadapi oleh guru dalam mendidik dan membentuk karakter generasi muda.


Dalam sambutannya, Bapak Saepudin Karta Sasmita, S.Pd., M.Pd., selaku dosen pembimbing PPL Prodi PPKn FKIP Universitas Pamulang, menyampaikan, “Kami di sini bermaksud menitipkan mahasiswi kami untuk menimba ilmu secara nyata di SMK Falatehan. Kami menyerahkan sepenuhnya kepada pihak sekolah untuk menggembleng, melatih, membina, dan mendidik mereka menjadi guru profesional yang suatu saat nanti akan menjadi pengganti kita di masa depan.”

Program PPL ini diharapkan dapat memberikan manfaat timbal balik. Mahasiswa memperoleh pengalaman berharga yang tidak bisa didapatkan di ruang kuliah, sementara sekolah mendapatkan tambahan tenaga dan ide-ide segar yang dapat mendukung proses pembelajaran. Kerja sama antara Universitas Pamulang dan SMK Falatehan ini menjadi bukti bahwa kolaborasi antara perguruan tinggi dan sekolah menengah dapat menciptakan dampak positif bagi kedua belah pihak.

Harapan besar juga disematkan pada program ini. Melalui PPL, masa depan pendidikan Indonesia diharapkan semakin cerah dengan kehadiran guru-guru muda yang siap mengabdi dengan kompetensi dan dedikasi tinggi. Hal ini sejalan dengan tujuan Sistem Pendidikan Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003, yang menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan, membentuk watak, serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan juga bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Melalui kolaborasi ini, Universitas Pamulang dan SMK Falatehan membuktikan bahwa pendidikan bermakna hanya dapat terwujud dengan sinergi dan komitmen bersama untuk menciptakan generasi penerus yang unggul.

Oleh: Klaudia Permata Putri (Mahasiswa Prodi PPKn, FKIP UNPAM)