Keroncong Tugu 100 Tahun: Dari Rawa-Rawa Batavia ke Panggung Dunia, Sebuah Kebangkitan Budaya yang Tak Pernah Padam
BUDAYA MUSIKJakarta, 2 Desember 2025 — Sebuah perayaan budaya yang sangat langka tengah disiapkan di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Musik yang lahir dari kisah penderitaan para tawanan VOC 500 tahun lalu kini berdiri kembali dengan penuh martabat. Keroncong Tugu—musik modern pertama yang lahir di Nusantara—akan merayakan 100 tahun organisasi resminya, dan antusiasme publik mulai menggema.
Acara puncak akan digelar pada 11 Desember 2025 di Taman Ismail Marzuki (TIM), menampilkan drama musikal kolosal dan konser Keroncong Tugu. Pemerintah melalui Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka memberikan dukungan penuh, menandai pengakuan negara atas nilai sejarah komunitas Portugis Tugu.
Musik yang Dilahirkan dari Pembuangan dan Bertahan 5 Abad
Dalam konferensi pers yang berlangsung hangat, Pimpinan Keroncong Tugu Cafrinho, Guido Quiko, mengungkapkan bahwa perayaan ini adalah “momen paling penting dalam sejarah Tugu.”
Di hadapannya, berdiri ratusan tahun sejarah: ketika keturunan Portugis yang dicabut dari Malaka, dijadikan tawanan VOC, dan dilemparkan ke hutan rawa—tempat yang saat itu penuh buaya, ular, dan bahaya. Dari keterasingan itu, mereka menciptakan alat musik dari kayu-kayu hutan dan melodi untuk menyembuhkan luka-luka jiwa.
“Keroncong Tugu bukan sekadar musik. Ini adalah bukti bahwa kami mampu bertahan sebagai manusia dan sebagai budaya,” kata Guido.
Kini, satu abad setelah terbentuknya organisasi keroncong resmi pada 1925, musik itu tetap hidup—dijaga oleh generasi demi generasi.
Drama Musikal Kelas Dunia Siap Menggelegar
Sutradara Tri Handojo, yang juga hadir sebagai narasumber, menegaskan bahwa perayaan 100 tahun kali ini bukan sekadar konser. Ini adalah teater sejarah.
Lebih dari 150 seniman—aktor film, musisi, penari, hingga artis nasional—dibawa masuk dalam produksi berskala besar ini.
“Kami memadatkan 500 tahun sejarah menjadi satu jam. Tentang kegembiraan bangsa Portugis di Malaka, tentang derita ketika mereka dibuang ke Batavia, dan tentang bagaimana musik keroncong lahir sebagai napas penyelamat,” ujar Tri.
Pertunjukan ini juga menampilkan gambaran kehidupan Kampung Tugu abad ke-17: rawa-rawa liar, konflik budaya, kawin campur dengan Melayu, Cina, Ambon, dan Jawa—yang akhirnya melahirkan identitas baru bernama “Mardijker.”
Keroncong Tugu: Satu-Satunya di Dunia
Di tengah banjir musik modern, Guido menegaskan bahwa Keroncong Tugu tetap mempertahankan warna musik aslinya. Tidak ada aransemen modern, tidak ada lompatan ke genre populer.
“Kami tidak takut ditinggal zaman. Keroncong Tugu punya pendengarnya sendiri, yang setia. Kami tidak mengubah jati diri kami sejak abad ke-17,” tegasnya.
Keaslian inilah yang membuat Keroncong Tugu menjadi rujukan dunia. Bahkan, kelompok ini baru kembali dari tur budaya di Belanda pada akhir November dan mendapat sambutan penuh antusias.
Dukungan Pemerintah: Tanda Pengakuan Budaya
Guido mengungkapkan bahwa perhatian langsung Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka adalah babak baru bagi keroncong Tugu.
Ia menyebutkan bahwa pemerintah tidak hanya memberikan dukungan moral, tetapi juga memastikan perayaan ini dapat terlaksana hingga acara puncak pada 11 Desember.
“Pemerintah melihat bahwa budaya lokal seperti ini adalah harta nasional,” kata Guido.
Pentas 11 Desember: Undangan untuk Menyaksikan Sejarah
Perayaan 100 Tahun Keroncong Tugu akan berlangsung di TIM dengan dua agenda utama:
- Drama Musikal Kelahiran Keroncong Tugu
- Konser Keroncong Tugu Cafrinho
Pertunjukan dimulai pukul 19.00 WIB dan berlangsung hingga selesai. Meski undangan terbatas, masyarakat tetap berkesempatan hadir melalui koordinasi panitia.
Bukan Sekadar Musik — Ini Perlawanan Budaya
Dalam penutup konferensi pers, Guido berkata:
“Kami adalah penjaga. Kami menjaga warisan yang dimulai oleh para leluhur kami yang pernah dianggap tidak berharga. Kini, kami berdiri tegak.”
Keroncong Tugu telah melewati penindasan kolonial, isolasi sosial, kemerdekaan, hingga era digital. Dan pada tahun ke-100 ini, musik itu bukan hanya hidup—tetapi bangkit dengan lebih gemilang dari sebelumnya.
11 Desember bukan sekadar konser. Ini adalah peringatan bahwa identitas tidak bisa dibungkam oleh waktu. []


























